Wanita Penghiburmu
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Apa kabarmu hari ini?
Sudahkah kau menyelesaikan urusanmu?
Hari ini hujan turun. Jangan lupa memakai jas hujan agar kau terlindung dari air hujan yang beraninya datang secara ramai-ramai.
Ahh.. Aku terlalu banyak berbicara, ya?
Maaf, karena kaupun tahu bahwa aku tak suka suasana yang sepi--meski kadang pernah dalam satu hari aku sangat mencintai suasana "sepi".
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Aku wanita yang (dengan sengaja) kau hubungi hanya disaat kau butuh.
Aku tak marah, karena akupun tahu bahwa aku bukan siapa-siapa kamu.
Pada awalnya aku merasa senang, sebab akulah orang pertama yang dibutuhkan saat kau sedang merasa sedih.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa muak. Bagaimana tidak?
Aku melihatmu (bisa) membahagiakan mereka (para wanita yang kau kencani) seperti layaknya sepasang kekasih. Padahal kau dan mereka bukanlah sepasang kekasih.
Lalu, akhirnya ku kirim pesan singkat dari ponselku untukmu "Jangan hubungi aku lagi ketika kau sedang merasa sedih."
Kaupun dengan kilat membalas pesanku, kau tanya "Mengapa?" Aku hanya bisa menjawab "Tidak apa-apa." Kau tak mempercayainya. Lalu, kau mengajakku bertemu di keesokan harinya.
Setelah bertemu, aku (memilih) diam. Namun berhenti terdiam ketika terdengar ucapan darimu bahwa kau sangat menyayangiku. Dan kamu hanya punya aku.
Aku sangat marah mendengarnya. Mengapa tidak?
Lalu ku lontarkan beberapa pertanyaan kepadamu;
"Mengapa kau menghubungiku hanya disaat sedih bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau tak mau berbagi kebahagiaan denganku bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau tak memberi perhatian selayaknya bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau membiarkan aku menunggu kabarmu bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau mematahkan hatiku bila kau sayang padaku?"
Kaupun terdiam.
Akupun bertanya lagi;
"Tak pernahkah terbesit di pikiranmu, bagaimana perasaanku saat kau memperlakukan ku seperti itu? Atau kau sama sekali tak pernah mempunyai pikiran semacam itu?"
Lagi-lagi kau terdiam lalu memelukku ketika kau lihat aku mulai menangis.
Kaupun memelukku sangat erat ketika tangisanku semakin kencang.
Dan disitu terdengar perkataanmu yang singkat "Maaf, aku tak tahu kalau ternyata aku telah menyakitimu."
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Perkataan maafmu takkan pernah membuat lukaku sembuh. Tapi tak apa, aku menikmati setiap luka yang kau ukir dengan sempurna.
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Tetaplah seperti itu.
Aku menulis surat ini bukan untuk memintamu berubah, (mungkin) sangat aneh rasanya apabila kau berubah; sebab akupun sudah mulai terbiasa dengan sikapmu.
Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku masih mempunyai waktu untuk merasakan sakit hati. Jadi tenanglah, sakiti aku dengan sekuatmu--maka aku akan bertahan dengan semampuku.
Aku hanya berdoa; semoga kau pun segera di pertemukan dengan seseorang yang dapat kau bagi kisah senang dan sedihnya dirimu.
Agar kaupun berhenti menyakitiku.
Iya, berhenti menyakitiku.
Pertanda,
Wanita penghiburmu.
Apa kabarmu hari ini?
Sudahkah kau menyelesaikan urusanmu?
Hari ini hujan turun. Jangan lupa memakai jas hujan agar kau terlindung dari air hujan yang beraninya datang secara ramai-ramai.
Ahh.. Aku terlalu banyak berbicara, ya?
Maaf, karena kaupun tahu bahwa aku tak suka suasana yang sepi--meski kadang pernah dalam satu hari aku sangat mencintai suasana "sepi".
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Aku wanita yang (dengan sengaja) kau hubungi hanya disaat kau butuh.
Aku tak marah, karena akupun tahu bahwa aku bukan siapa-siapa kamu.
Pada awalnya aku merasa senang, sebab akulah orang pertama yang dibutuhkan saat kau sedang merasa sedih.
Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa muak. Bagaimana tidak?
Aku melihatmu (bisa) membahagiakan mereka (para wanita yang kau kencani) seperti layaknya sepasang kekasih. Padahal kau dan mereka bukanlah sepasang kekasih.
Lalu, akhirnya ku kirim pesan singkat dari ponselku untukmu "Jangan hubungi aku lagi ketika kau sedang merasa sedih."
Kaupun dengan kilat membalas pesanku, kau tanya "Mengapa?" Aku hanya bisa menjawab "Tidak apa-apa." Kau tak mempercayainya. Lalu, kau mengajakku bertemu di keesokan harinya.
Setelah bertemu, aku (memilih) diam. Namun berhenti terdiam ketika terdengar ucapan darimu bahwa kau sangat menyayangiku. Dan kamu hanya punya aku.
Aku sangat marah mendengarnya. Mengapa tidak?
Lalu ku lontarkan beberapa pertanyaan kepadamu;
"Mengapa kau menghubungiku hanya disaat sedih bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau tak mau berbagi kebahagiaan denganku bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau tak memberi perhatian selayaknya bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau membiarkan aku menunggu kabarmu bila kau sayang padaku?"
"Mengapa kau mematahkan hatiku bila kau sayang padaku?"
Kaupun terdiam.
Akupun bertanya lagi;
"Tak pernahkah terbesit di pikiranmu, bagaimana perasaanku saat kau memperlakukan ku seperti itu? Atau kau sama sekali tak pernah mempunyai pikiran semacam itu?"
Lagi-lagi kau terdiam lalu memelukku ketika kau lihat aku mulai menangis.
Kaupun memelukku sangat erat ketika tangisanku semakin kencang.
Dan disitu terdengar perkataanmu yang singkat "Maaf, aku tak tahu kalau ternyata aku telah menyakitimu."
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Perkataan maafmu takkan pernah membuat lukaku sembuh. Tapi tak apa, aku menikmati setiap luka yang kau ukir dengan sempurna.
Kepada kamu, yang ku cintai secara diam-diam.
Tetaplah seperti itu.
Aku menulis surat ini bukan untuk memintamu berubah, (mungkin) sangat aneh rasanya apabila kau berubah; sebab akupun sudah mulai terbiasa dengan sikapmu.
Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku masih mempunyai waktu untuk merasakan sakit hati. Jadi tenanglah, sakiti aku dengan sekuatmu--maka aku akan bertahan dengan semampuku.
Aku hanya berdoa; semoga kau pun segera di pertemukan dengan seseorang yang dapat kau bagi kisah senang dan sedihnya dirimu.
Agar kaupun berhenti menyakitiku.
Iya, berhenti menyakitiku.
Pertanda,
Wanita penghiburmu.
Komentar
Posting Komentar