Aku merindukanmu, Sayang.

Siang itu terasa sangat dingin; seperti hujan yang sedang turun deras membasahi bumi. Padahal saat itu juga matahari menyinari bumi dengan sempurna. Ahh ternyata hanya perasaanku saja, sebab yang dingin ialah sikapmu terhadapku. Aku berada di sampingmu, tetapi tidak punya keberanian untuk melontarkan sepatah atau dua patah kata agar aku dapat memulai percakapan denganmu, seperti; "Bagaimana kabarmu?" atau "Bagaimana harimu?" Itulah sebagian pertanyaan yang sangat ingin aku tanyakan tetapi tertahan oleh lidahku.

Ya, betapa naifnya aku. Aku menyuruhmu untuk diam, padahal aku yang suka mendengarkan ceritamu. Aku menyuruhmu untuk pergi, padahal kamu yang selalu ku inginkan. Aku menyuruhmu untuk mati, padahal aku yang akan mati bila kamu tidak berada disini. Maka dari itu saat kamu benar-benar diam, aku hanya tertegun melihatmu.

Namun apakah kau tahu, sayang? Aku hampir saja (mau) mati; saat kamu berada di sampingku, namun tak sepatah kata kau ucapkan kepadaku. Kamu hanya sesekali menatapku dengan tatapan yang dipenuhi dengan rasa kebencian. Seperti seseorang yang akan membunuh musuhnya tanpa ada kata ampun. Tapi, benarkah itu sayang? Benarkah kamu membenciku atas segala sikap yang kulakukan terhadapmu? Jika tidak, maka dimana tatapan yang hangat yang selalu kau berikan kepadaku? tatapan yang membuat aku tenggelam ke dalamnya. Merasakan cinta yang sangat amat nyata. 
Dan, dimana dirimu yang sebenarnya?

Aku merindukannya, Sayang. 
Aku merindukanmu.
Kamu yang (selalu) aku rindukan.

Komentar

Postingan Populer